BUKU

cicip buku – cinta di ujung sajadah

sudah baca?

——————————
Judul: Cinta di Ujung Sajadah
Penulis: Asma Nadia
Penerbit: Republika, 2012
Tebal: xiv + 292 hlm.

Ketika semua harapan menemui jalan buntu. Cinta berjuang. Mencari kekuatan dalam sujud-sujud panjang. Menelusuri jejak surga yang dirindukan, hingga tuntas saat senja di Madinah.

Pertama saya memutuskan untuk membaca novel ini, saya tidak punya ekspektasi terlalu tinggi. Karena bagaimanapun, ini adalah buku sekaligus novel pertama yang saya baca dari penulis 47 buku ini -begitu katanya di pengantar, Asma Nadia. Ke mana aje, woi!

Selain itu, judul yang memakai kata ‘cinta’, bagi saya, semakin ke sini semakin klise dan tidak menambah selera baca. Ditambah lagi ternyata kata cinta di sana selain menunjuk pada sebentuk perasaan, dia juga merujuk ke nama tokoh utama di novel ini -Cinta. Ah, semakin seperti cerita-cerita jaman dulu saja semacam legenda tempat keramat. Ampun, mba Asma Nadia. Kejamnya lagi: karena belum ada novel lain yang harus -biasanya karena minjem- saya baca, novel ini akhirnya saya beli.

Set!
Bagian satu. Ya, benar-benar baru di bagian satu. Saya merasa harus angkat topi! Gaya menulis seperti ini saya rasa hanya dimiliki penulis-penulis hebat. Ah, mba Asma Nadia tentu sudah biasa dipuji seperti ini. Kemudian saya percaya, gelar Tokoh Perubahan, Wanita Inspiratif, Penulis Fiksi Terfavorit, dan Tokoh Perbukuan Islam sangat layak disandang penulis yang sekarang bisnis di bidang sandang ini -pujian yang aneh. Cukup dengan membaca bagian satu saja, saya sudah harus angkat topi, bayangkan, ah, tidak usah dilanjutkan.

Alur ceritanya enak diikuti dan penokohannya kuat, didasari masalah yang dialami masing-masing tokoh. Mba Asma Nadia itu pinter bikin ‘gregetan’. Begitu saya pikir saat bagian penutup saya baca pelan-pelan. Di sepanjang isi novel, saya disuguhi teka-teki dan jawabannya tidak dijawabkan tuntas sampai cerita terlihat selesai menjawab pertanyaan besar tokoh utama. Di penutup, mba Asma Nadia masih menyisakan teka-teki kecil dengan jawaban yang mengundang senyum pembaca di saat selesai membaca novel ini.

Yang pasti, setelah membaca novel ini, saya berniat melahap novel-novel lain dari mba Asma Nadia. Fyi, saya baru jadi pecandu novel dalam 3 bulan ini dan di 15 hari pertama menyelesaikan baca 15 novel –jadi gue harus bilang WOW! sambil ke klinik Tong Fang, gitu? | iya, tapi WOW!-nya buat novel ini aja. 🙂

CURHATAN

pendengar yang baik -teori kadaluarsa

–judulnya minta digebukin, bukan yang nulis.

“jadilah pendengar yang baik,”
orang-orang –entah itu penulis, psikolog, motivator, atau teman kita sendiri– sering nyaranin ini kalau lagi ngomongin gimana cara bergaul. lebih sering lagi, dari sekian saran yang dikasih, biasanya ini disebutin pertama kali. atau gak, di akhir tapi pake penekanan: ini yang paling penting!

ini sudah jadi resep bertahun-tahun. lama banget kayaknya. saya tahu ini pertama kali ketika SMA ketemu sama bukunya Dale Carniege –waktu itu covernya masih ijo, belakangan ada yang pink, hha. mungkin bapak ini kali ya sumbernya. gak tau pastinya sih.

yang pasti, belakangan saya kepikiran, kalau teori itu udah lama dan banyak manusia yang tahu, jangan-jangan semua manusia yang ada di dunia sekarang selalu berusaha jadi pendengar yang baik. oalah, mending saya yang ngomong deh gak papa. teorinya, “jadilah pembicara yang baik,” –teori baru, gak baru juga sih sebenernya.

ya, kalau semua orang jadi pendengar yang baik kan terus siapa yang ngomong? | kan jadi pendengar yang baik bukannya gak boleh ngomong juga! | jadi, jadi pendengar yang baik atau ‘pembicara’ yang baik tuh? | errr…

alasan lain kenapa kita sekarang harus move on dari teori ini adalah ternyata, kalau mau jadi pendengar yang baik, kita harus bisa ngomong yang baik-baik dulu. nah loh, kebalik lagi ya, bukannya dulu ada yang bilang, “kalau mau jadi pembicara yang baik, jadi pendengar yang baik dahulu,”?

tapi kenyataannya, orang yang bisa jadi pendengar yang baik itu berarti ada orang yang mau ngomong sama dia. orang lain berasa nyaman ngomong sama dia. orang lain ngerasa aman kalau curhat sama dia. orang lain ngerasa bakal dapet solusi kalau cerita sama dia. bener, kan?

orang bisa nyaman kalo ngomongin rahasia ke orang yang kejaga omongannya.
orang ngerasa aman kalau curhat sama orang yang bisa jaga rahasia.
orang ngerasa bisa dapet solusi kalau cerita kegalauannya sama orang yang omongannya, statusnya facebooknya, twitnya, sampe bentuk mukanya gak bikin galau. contoh konkrit buat yang ini mungkin mario teguh atau motivator lainnya kali ya.

intinya, orang yang bisa jaga omongannya, ngobrolnya enak, punya peluang lebih gede buat jadi pendengar yang baik. jadi, berusaha menjadi ‘pembicara’ yang baik dulu, baru jadi pendengar yang baik. lagian, Nabi Muhammad itu, nyuruh kita ngomong yang baik-baik dulu, kalau gak bisa, baru diem atau dengerin aja.

teori ini emang udah lama banget sih ya. tapi entah, masih laku aja dijual sama motivator sama penulis-penulis itu. faktanya, yang denger atau yang baca juga bakal nerima sambil manggut-manggut aja –sambil ngerasa selama ini dia jarang banget jadi pendengar yang baik.

tapi, bisa jadi juga dugaan saya salah –semua manusia sudah pada jadi pendengar yang baik.
bisa jadi, praktik jadi pendengar yang baik itu susah banget.
bisa jadi, sejak orang pertama kali denger “jadilah pendengar yang baik!” sampai dia mati, dia gak pernah bisa jadi pendengar yang baik.

simpulannya? simpulin sendiri aja deh ya, silakan.

CURHATAN

kipas angin

“kipas angin itu bisa dijual,”
ini pikiran -boleh disebut- pengusaha.
“kipas angin itu wajib ada,”
ini pikiran mahasiswa yang kamar kosnya panas.
“jadi, kipas angin ini punya siapa?”
bisa jadi ini pikiran orang yang baru belajar pengantar hukum –beizit is ergendom.
“kipas angin ini butuh listrik,”
ini pikiran siapa? orang yang sedang ingin menyalakan kipas angin.
“kipas angin ini sebenarnya ingin berputar saja atau benar-benar ingin menghembuskan angin?”
tak tahulah ini pikiran orang macam apa.