HUKUM, KEUANGAN NEGARA, PIKIRAN

Bentuk Tanda Tangan dan Jenis Akta

tulisan ini adalah bagian kedua dari rangkaian pembahasan mengenai tanda tangan sebagai cara saya mengurai dan mendokumentasikan apa yang saya pikirkan mengenai keabsahan sebuah dokumen yang menjadi dasar pengeluaran negara dalam ekosistem digital. ini adalah pandangan pribadi dan hanya mewakili diri saya sendiri. bagian pertama dapat diakses di sini.
sumber: Wikihow

Setelah paham mengenai apa arti sebuah tanda tangan dan syarat sah perjanjian, kita akan masih bertanya-tanya. Di antara pertanyaan yang muncul:

  1. Adakah aturan terkait bentuk tanda tangan? Bolehkah tanda tangan berubah? Bolehkah menggunakan cap jempol, misalnya?
  2. Ada berapa jenis sih sebenarnya akta perjanjian itu? Apakah sama semua (satu jenis saja)? Kalau ada jenis lain, bedanya apa?

Bentuk Tanda Tangan

Untuk pertanyaan pertama: saya belum pernah menemukan aturan terkait bentuk tanda tangan, termasuk boleh berubah atau tidak. Kalau ada, tolong kasih tahu ya. Menurut saya, bentuk tanda tangan, bolehkah berubah atau berbeda dengan tanda tangan di e-KTP misalnya, masuk dalam syarat sah perjanjian yang pertama yaitu kesepakatan. Kesepakatan ini begitu luas, mulai dari substansi perjanjian sampai hal-hal di sekitar perjanjian, seperti mau dibuat tertulis atau lisan saja. Termasuk terkait bentuk tanda tangan.

Di perbankan, misalnya, kita akan diminta tanda tangan persis sesuai e-KTP. Kalau kita bersedia (tentu saja bersedia karena kita butuh buka rekening), maka di situ terdapat poin kesepakatan tentang bentuk tanda tangan. Dari sisi bank, hal ini dilakukan agar lebih mudah ketika pembuktian kebenaran tanda tangan. Sepaham saya, hal ini juga dilakukan oleh notaris. Namun, dalam hal perjanjian biasa, misalnya sewa kosan, jual beli barang di bawah nominal tertentu (50 juta misalnya), bentuk tanda tangan tidak terlalu diperhatikan dan pada dasarnya sama sekali tidak berpengaruh pada keabsahan perjanjian, selama para pihak sepakat.

Akta

Prof. Sudikno mendefinisikan akta sebagai surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa hukum, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula secara sengaja untuk tujuan pembuktian.

Dari definisi di atas kita bisa memahami bahwa kalau kita membuat perjanjian tertulis lalu menandatanganinya sebagai bukti bahwa ada perjanjian di antara para pihak, yang kita tanda tangani adalah sebuah akta. Terus, bagaimana akibat hukumnya? Hal ini akan sangat tergantung pada apakah kita sedang menandatangani akta otentik atau akta di bawah tangan.

Akta Otentik

Kita bahas akta otentik dahulu karena dialah yang memiliki karakter khusus. Mari kita simak Pasal 1868 KUHPerdata (BW):

“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Dari ketentuan di atas, dapat kita urai unsur dari sebuah akta otentik sebagai berikut:

  1. Bentuk/formatnya ditentukan oleh undang-undang (secara lisan, dosen-dosen saya sering menjelaskan bahwa ketika undang-undang warisan Belanda yang masih berlaku sampai sekarang seperti BW dan KUHP menyebut undang-undang, maka diartikan sebagai peraturan perundang-undangan secara umum, tidak khusus undang-undang).
  2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Bentuk akta otentik paling umum dan dikenal banyak orang adalah akta notaris. Tetapi pada dasarnya semua akta yang memenuhi unsur di atas adalah akta otentik. Sehingga jika kita satukan pengertian akta oleh Prof. Sudikno dengan unsur akta otentik, jika sebuah surat:

  1. diberi tanda tangan;
  2. memuat peristiwa hukum;
  3. menjadi dasar untuk sebuah perikatan;
  4. dibuat dengan tujuan pembuktian adanya perikatan;
  5. bentuknya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan; dan
  6. dibuat oleh pejabat yang berwenang atau dibuat di hadapan oleh pejabat umum umum yang berwenang.

maka surat tersebut adalah sebuah akta otentik. Unsur bentuknya ditentukan peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh atau di hadapan pejabat memang dua unsur yang cukup berat dipenuhi, sehingga dalam hal pembuktian akta otentik akan memiliki kekuatan yang lebih istimewa dibanding akta di bawah tangan.

Akta di Bawah Tangan

Apa itu akta di bawah tangan? Supaya tidak berpanjang lebar, kita gunakan penafsiran a contrario saja: akta di bawah tangan adalah akta yang tidak memenuhi unsur akta otentik.

Kekuatan Pembuktian dan Keterkaitannya dengan Tanda Tangan

Apa istimewanya akta otentik? Sejak ditanya oleh senior saya waktu itu, buku yang paling mencerahkan adalah buku “RIB/HIR dengan Penjelasan” yang ditulis oleh R. Soesilo. Pasal 165 HIR berisi ketentuan yang persis sama dengan ketentuan Pasal 1868 BW di atas. Yang menarik adalah penjelasan Soesilo di bawahnya. Terutama pada bagian membedakan kekuatan akta otentik vs akta di bawah tangan.

Bedanya kekuatan Akte otentik dan Akte bawah tangan antara lain adalah, bahwa apabila pihak lain mengatakan, bahwa isi Akte otentik itu tidak benar, maka pihak yang mengatakan itulah yang harus membuktikan, bahwa akte itu tidak benar, sedangkan pihak yang memakai Akte itu tidak usah membuktikan, bahwa isi akte itu betul, sedangkan pada akte bawah tangan, apabila ada pihak yang meragukan kebenaran akte tersebut, maka pihak ini tidak perlu membuktikan, bahwa akte itu tidak betul, akan tetapi pihak yang memakai Akte itulah yang harus membuktikan bahwa akte itu adalah betul.

Mari kita bahas dengan kalimat yang lebih casual. 🙂

Intinya begini, ketika ada sengketa di pengadilan mengenai sebuah perjanjian, yang diperiksa pertama adalah keabsahan perjanjiannya. Salah satu unsurnya adalah kesepakatan, kan? Kesepakatan ditunjukkan dengan adanya? Betul, tanda tangan. Sehingga yang pertama diperiksa adalah apakah benar para pihak mengakui yang di dalam sebuah akta adalah tanda tangan mereka atau bukan. Sampai di sini dulu, akta otentik vs akta di bawah tangan:

  1. Akta otentik pada hakikatnya bahkan tidak perlu ditanyakan ke para pihak, itu sudah cukup mengikat hakim. Artinya: hakim harus menerima bahwa akta tersebut benar, perjanjian di dalamnya benar, dan para pihak telah mengakui hak dan kewajiban dalam akta tersebut.
  2. Akta di bawah tangan perlu konfirmasi ke para pihak. Jika dan hanya jika para pihak mengakui tanda tangan di sana, baru hakim wajib menerima bahwa akta tersebut benar. Di titik ini para juris biasanya menyebut bahwa akta di bawah tangan telah setara dengan akta otentik.

Lalu, muncul pertanyaan: (a) bagaimana jika ada salah satu pihak yang tidak mengakui tanda tangannya? (b) apakah salah satu pihak juga dapat mengingkari tanda tangan di sebuah akta otentik?

Kita jawab dari (b) terlebih dahulu: dapat. Lalu untuk (a):

  1. Jika seseorang mengingkari tanda tangan di sebuah akta otentik, maka dialah yang harus membuktikan bahwa itu bukan tanda tangannya atau dia tidak pernah menandatangani akta tersebut.
  2. Jika seseorang mengingkari tanda tangan di sebuah akta di bawah tangan, maka lawannyalah yang harus membuktikan bahwa itu adalah tanda tangan yang mengingkari.

Masih belum jelas? Mari ke contoh: A dan B membuat perjanjian.

  1. Jika perjanjiannya dimuat dalam akta otentik, kemudian A menyangkal, A bilang bahwa dia tidak pernah menandatangani perjanjian tersebut, A-lah yang bertugas membuktikan kepada hakim bahwa dia tidak pernah menandatangani perjanjian tersebut.
  2. Jika perjanjiannya dimuat dalam akta di bawah tangan, kemudian A menyangkal, A bilang bahwa dia tidak pernah menandatangani perjanjian tersebut, B-lah yang bertugas membuktikan kepada hakim bahwa A benar-benar menandatangani perjanjian tersebut.

Perhatikan kondisi nomor 2 dan posisikan diri sebagai B. Jika sudah begitu, kita akan ingin A menandatangani perjanjiannya sesuai dengan tanda tangannya di e-KTP bukan? Setidaknya ini menambah bahan pembuktian kepada hakim bahwa A benar-benar menandatangani perjanjian tersebut. Kita juga akan ragu-ragu membuat perjanjian dengan orang yang sering mengubah tanda tangannya.

Lalu mari kita coba ubah perspektif. Tetap di kondisi kedua, namun kita sebagai A dan ada orang yang memalsukan tanda tangan kita tetapi sudah sangat mirip bahkan persis dengan tanda tangan di e-KTP kita. Apa yang bisa kita lakukan meskipun beban pembuktian ada di lawan kita (si B) sementara dia telah bisa membuktikan bahwa tanda tangan di perjanjian tersebut telah persis dengan tanda tangan kita di e-KTP. Saya sendiri sampai saat ini masih berpikir bahwa kita sebaiknya punya catatan dokumen penting yang kita tanda tangani, berisi tanggal, nomor, dan perihalnya, namun saya menyadari hal ini juga belum terlalu kuat. Ada masukan? Atau sebaiknya memang kita harus beralih ke tanda tangan elektronik yang akan kita bahas di kesempatan selanjutnya. Tabik.

Catatan: 
1. pada dasarnya aturan tentang beban pembuktian kebenaran akta otentik dan akta di bawah tangan yang telah dijelaskan di atas tidak hanya berlaku terkait tanda tangan, tetapi juga substansi. misalnya si A dan B sama-sama mengakui bahwa benar mereka pernah membuat sebuah perjanjian, namun si A tidak mengakui poin tertentu, dia misalnya menyanggah bahwa poin tersebut tidak ada saat dia menandatanganinya.
2. saya baru sadar belakangan belum sempat bahas tentang cap jempol, di pembahasan berikutnya ya. semoga tidak lupa lagi.

waiting for you...