PIKIRAN

Tanda Tangan & Perjanjian

tulisan ini adalah bagian pertama dari rangkaian pembahasan mengenai tanda tangan sebagai cara saya mengurai dan mendokumentasikan apa yang saya pikirkan mengenai keabsahan sebuah dokumen yang menjadi dasar pengeluaran negara dalam ekosistem digital. ini adalah pandangan pribadi dan hanya mewakili diri saya sendiri.
sumber gambar: wikihow

Di tahun 2018, saat saya masih semester 2 di FH UNAIR, salah satu senior menyampaikan pertanyaan, “keabsahan tanda tangan tuh bagaimana aturannya?” Saya mengernyitkan dahi, berusaha mengakses semua ingatan mengenai materi pengantar hukum perdata di semester sebelumnya. Kesimpulan sementara saya waktu itu: belum ada pembahasan itu, mari jadikan topik riset kecil-kecilan.

Tahun 2021, saya mulai ditugaskan di sebuah unit yang sedang melakukan digitalisasi proses bisnis pengeluaran negara. Salah satu isu yang mengemuka cukup kuat adalah terkait keabsahan tanda tangan di ekosistem digital. Inilah yang membuat saya kembali mengingat-ingat apa jawaban saya atas pertanyaan senior saya di tahun 2018 itu. Lagi pula, kita harus sadar bahwa apa yang terjadi di dunia digital, akarnya biasanya ada di dunia manual. Termasuk yang namanya tanda tangan digital, mbah-nya ya tanda tangan basah.

Arti Tanda Tangan

Saya pernah terlibat sebuah penyelenggaraan legal audit training. Lagi-lagi karena pertanyaan senior di atas, salah satu yang menarik buat saya adalah pendefinisian tanda tangan. Menurut salah satu pembicaranya, Pak Suhar Adi K., tanda tangan secara etimologis berasal dari kata ondertekening dalam Bahasa Belanda, artinya membuat tanda di bawah sebuah tulisan. Mungkin dari sini pula lah asal kata teken yang biasa digunakan para sesepuh kita untuk menyebut tanda tangan. Masih menurut beliau, secara yuridis, tanda tangan berarti sebuah pernyataan bahwa seseorang menyatakan bahwa sebuah tulisan atau pernyataan dianggap sebagai tulisan atau pernyataannya sendiri.

Menurut saya cukup jelas bahwa akibat hukum dari menandatangani sebuah surat atau apapun akan membuat kita membenarkan dan bertanggung jawab atas isinya karena menandatangani berarti menyatakan bahwa isi surat tersebut adalah pernyataan kita. Tidak peduli kita benar-benar membaca atau tidak, mengerti atau tidak, sebelum tanda tangan. Ingat suatu kejadian? Hati-hati 🙂

Penggunaan Tanda Tangan pada Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian

Secara alami, kita perlu menggunakan tanda tangan dalam relasi dengan orang lain ketika menyepakati sesuatu, biasanya terkhusus pada hal-hal yang berefek pada harta benda/kekayaan/finansial. Dalam konteks ini, meskipun pada dasarnya perjanjian dapat sah dalam bentuk tertulis ataupun tidak, demi keamanan pembuktian ke depannya biasanya kita akan memilih bentuk tertulis. Di sinilah kita memerlukan tanda tangan.

Meskipun begitu, tanda tangan bukanlah syarat sah/tidaknya sebuah perjanjian, bahkan (lagi-lagi) perjanjian tetap sah meskipun tidak tertulis. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sebuah perjanjian telah sah jika memenuhi empat hal, (1) telah tercapai kesepakatan, (2) para pihak yang bersepakat memenuhi syarat cakap, (3) objek perjanjiannya ada/jelas, dan (4) substansi perjanjian tersebut tidak dilarang oleh aturan perundang-undangan.

Di antara 4 (empat) syarat tersebut, yang relevan dengan pembahasan tanda tangan adalah mengenai tercapainya kesepakatan. Kita semua paham bahwa ditandatanganinya sebuah perjanjian menunjukkan telah tercapainya kesepakatan di antara para pihak. Di sini para pihak harus sadar bahwa menandatangani perjanjian tersebut berarti menyatakan bahwa apa yang ada di dalam perjanjian tersebut adalah pernyataannya sendiri dan bertanggung jawab atas konsekuensi hukumnya.

sampai di sini dulu, selanjutnya akan dibahas mengenai kekuatan pembuktian dari perjanjian yang ditandatangani para pihak. kalau ada yang bertanya-tanya mengenai bagaimana jika ada pihak yang tanda tangannya berubah atau tidak mengakui tanda tangannya, semoga bisa terjawab di bahasan berikutnya.

1 thought on “Tanda Tangan & Perjanjian”

waiting for you...