PIKIRAN

Bersatu Tidak Berarti Harus Bersepakat dalam Semua Hal

Bahkan dengan darah daging kita sendiri, kita tidak bisa bersepakat dalam semua hal.

Saya agak miris melihat terbelahnya masyarakat akhir-akhir ini. Ya, terbelah identik dengan hanya terbagi menjadi dua kubu. Asal muasalnya tentu kita tahu dan tidak perlu dijelaskan lagi. Cebong dan Kampret, begitulah dua kubu ini sering disebut.

Anehnya, makin lama setelah terbelah, perbedaan di antara kedua kubu ini makin tajam. Keduanya menjadi kubu yang saling berlawanan dan seakan-akan di internal kubu tersebut selalu bersepakat dalam semua hal. Pokoknya asal kelompok Cebong berpendapat X dalam suatu hal, maka siapapun yang kelompok Kampret harus berpendapat Y. Lalu mulailah gontok-gontokan.

Mulai dari urusan milih presiden, milih gubernur, urusan kali, MRT, putusan MK, bahkan terakhir soal vaksin. Bahkan nih ya, jika ada yang biasanya satu pendapat dengan kelompok Kampret lalu suatu saat punya pandangan berbeda, maka dia akan auto-Cebong! Sebaliknya pun begitu, auto-Kampret! Kemudian diserang ramai-ramai.

Mau terus-terusan begitu sampai anak cucu kita nanti? Come on! Let’s make this straight.

Pertama, tidak ada orang yang selalu benar dan tak pernah salah. Juga tidak ada orang yang selalu salah dan tak pernah benar. Kalau ada, plis tunjukkan! Tentu saja tidak ada. Kalau sudah jelas faktanya begini, lalu apa yang terjadi di sini sebenarnya? It’s about like and dislike. Hate-love relationship? Halah. Lalu karena itukah kita mau terbelah? Yang cebong selalu fokus pada kelebihan Pakde, yang kampret selalu fokus pada kelemahan beliau. Kampret yang penting bukan Pakde, cebong yang penting harus Pakde. Lalu mana logika dasar kita? Disimpan?

Kedua, terbaginya masyarakat menjadi cebong dan kampret ini sebenarnya tidak logis sama sekali. Ya, karena basisnya memang bukan logika, tapi like and dislike tadi. Karena tidak mungkin semua orang dalam kelompok cebong itu bersepakat dalam semua hal dan berkebalikan dari yang disepakati kelompok kampret. Nope, tidak mungkin terjadi kalau dasar berpikirnya adalah logika. Ya kembali lagi, memang dasar berpikirnya bukan logika. Padahal kalau pakai logika, seperti yang saya bilang di awal, bahkan dengan darah daging kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa bersepakat dalam semua hal.

Lalu, mau sampai kapan terbelah? Tidak lelahkah gontok-gontokkan? Kubu-kubuan?

Sebelumnya saling beli dagangan, kemudian saling hujat. Sebelumnya asik meeting, setelah ketahuan cebong-kampret-nya deal bisnis di ujung tanduk. Jangan sampai ada yang sudah menantu-mertuaan lalu disuruh mulangin anaknya. Atau nanti salah satu syarat melamar anak adalah screening media sosialnya? Sesoleh apapun, kalau cebong-oriented, tolak? Atau sebaliknya. Duh.

Enak, begitu terus-terusan? Enggak. Tapi inilah proses pendewasaan politik kita. Saya yakin akan ada ujungnya. Akan tiba titik jenuh itu pada semua orang. Tergantung cepat lambatnya. Akan tiba titik di mana kita semua akan sadar bahwa kita ini sama-sama rakyat dari sebuah negara. Sama-sama pengen hidup nyaman. Di mana buat kita bisa hidup nyaman, tanpa perlu ada orang lain yang dibikin gak nyaman. Kita bisa kenyang tanpa bikin orang kelaparan.

Buat yang sudah mulai sadar, keep struggling. Jadi tengah-tengah itu berat. “Netral itu gak ada!” Memang, tapi yang sudah sadar itu menolak bersepakat atas semua hal dengan satu kelompok, baik dengan cebong atau kampret. Yang sudah sadar ini bisa satu pikiran dengan cebong dalam suatu masalah lalu auto-cebong di mata kampret. Sebaliknya juga bisa dan auto-kampret di mata cebong. Padahal, hanya sedang speak up apa yang menurutnya benar. Sekali lagi, keep strugling.

Kemudian teruslah berusaha, setiap mengambil pendapat, narasikan dengan narasi yang menyatukan. Jangan ikut-ikutan menggunakan narasi yang memecah. Nanti malah jadi auto beneran, gak ada bedanya. Keep this in mind, “buatlah narasi yang menyatukan atau diam, bersunyilah dengan kebenaran yang kita yakini.”

Harapan kita, suatu saat nanti semua orang sadar, bahwa kita tetap bisa bersatu meski tak bisa bersepakat dalam semua hal. Semua perbedaan pendapat bisa didiskusikan tanpa saling memojokkan, tanpa membuat kita berjarak. Itulah saat di mana proses pendewasaan bangsa kita memasuki babak baru. Entah kapan, kita sama-sama berharap tidak lama lagi. Tabik.

2 thoughts on “Bersatu Tidak Berarti Harus Bersepakat dalam Semua Hal”

waiting for you...