PIKIRAN

Calon Pemimpin Beli Suara dengan Satu Milyar

“Satu milyar,” kata si tetua kampung itu kepada orang di depannya. Jangan dibayangkan ini tentang transaksi jual beli biasa. Transaksi ini terjadi dalam suasana Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. Benar sekali apa yang Anda pikirkan, ini tentang jual beli suara. Setelah tawar menawar, “deal, tujuh ratus lima puluh juta,” kata orang yang diutus ke tetua kampung tersebut. Di kemudian hari, berpindahtanganlah uang sejumlah itu ke sebuah kampung di pedalaman Amuntai dengan janji: semua orang di kampung itu akan memilih calon yang diusung utusan tersebut dalam PILKADA.

Demi menghindari fitnah, saya akan mengklarifikasi beberapa hal dulu. Pertama, saya tidak menyebutkan ini PILKADA tahun kapan. Kedua, saya tidak menyebut calon yang mana yang mengirim seseorang ke kampung tersebut. Ketiga, saya berani bilang, bahwa saya tidak bisa membuktikan perpindahan tangan uang tersebut. Hanya saja ini sudah menjadi rahasia umum, karena saat perhitungan suara di tingkat kecamatan dan kabupaten, terlihat bahwa ada satu kampung yang suaranya bulat untuk satu calon. Tidak ada suara rusak, abstain, apalagi suara untuk calon lain. Satu hal lagi yang sangat penting, saya mengungkap ini bukan untuk dijadikan perkara hukum ke depannya. Tetapi, agar kita semua bisa mengambil pelajar dari cerita ini –tentu bukan agar kampung Anda bisa dapat tawaran seperti itu juga.

Itu sebuah sudut di Kalimantan Selatan. Di sudut lain, saat PILKADA Jakarta berlangsung, salah satu perkataan pengamat yang paling saya ingat adalah bahwa money politic tidak akan begitu efektif di sana. Alasannya, karena masyarakatnya adalah masyarakat yang logis dan intelek. Masyarakat yang sudah bisa menentukan pemimpinnya dengan pertimbangan logis dan berasas kemanfaatan jangka panjang.

Saya tambahkan satu contoh lagi, masyarakat kampus. Masyarakat kampus adalah sebuah masyarakat yang bisa dijadikan contoh masyarakat yang bersih dari money politic, secara umum. Kenapa? Karena dari segi pendidikan, masyarakat kampus yang merupakan mahasiswa mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan dan bisa memilih pemimpin yang layak tanpa dipengaruhi pertimbangan keuntungan materil. Bahkan, jika ada calon pemimpin mahasiswa yang memberikan iming-iming uang, maka yakin saja, tidak akan dipilih dan terpilih!

Hal paling mendasar yang bisa kita petik dari sejumlah fenomena di atas adalah hubungan antara tingkat pendidikan masyarakat dengan perilaku politik. Tentu ada alasan lain, misalnya kesejahteraan. Tetapi urusan kesejahteraan akan terkesampingkan ketika pendidikan dan kesadaran politik masyarakat cukup. Ya, tidak perlu tinggi, di level cukup saja. Banyak kasus telah membuktikan, dalam hal apapun, mana kala pendidikan dan kesadarannya cukup, maka urusan kesejahteraan tidak lagi jadi pertimbangan. Maka dalam hal ini menurut saya urusan kesejahteraan tidak bisa dijadikan execuse. Kesejahteraan bukan masalah paling mendasar.

Tingkat pendidikan yang berkaitan dengan politik ini tidak melulu soal pendidikan formal. Bukan. Poin terpentingnya justru ada pada dua titik. Pertama, tingkat pengetahuan tentang bagaimana pemimpin yang baik. Ini soal personal calon pemimpin. Kedua, tingkat kesadaran tentang hukum sogok menyogok, politik uang, dan imbasnya pada kehidupan masyarakat setelah seorang pemimpin dipilih dan terpilih.

Saya lebih tertarik untuk membahas poin kedua. Perhatikan, untuk poin ini saya memakai kata “tingkat kesadaran”, bukan tingkat pengetahuan. Paham? Benar, karena sesungguhnya masyarakat kita sudah tahu tentang buruknya money politic dan haramnya sogok menyogok. Tingkat pengetahuan mereka sudah cukup, tapi tak sadar, terutama soal implikasi atau akibat yang akan mereka terima setelah mereka dipimpin oleh orang yang memberi mereka duit.
 

Mereka belum sadar bahwa money politic itu benar-benar buruk. Mereka belum sadar bahwa istilah “nyari uang buat balik modal” itu benar-benar terjadi. Maka ‘wajar’ jika akhirnya banyak pemimpin kita yang setelah selesai masa jabatannya, malah terjerat korupsi. Yang belum sempat selesai juga banyak yang jadi tersangka. Hanya masyarakat belum sadar, bahwa mereka punya andil ‘menciptakan’ pemimpin seperti itu dengan menerima uang saat pemilihan berlangsung. Masyarakat harusnya sadar, bahwa selama mereka masih mau menerima uang para calon-calon yang berebut kekuasaan, selama itulah mereka akan dipimpin oleh pemimpin korup. Ringkasnya, selama masyarakat mau disogok, harapan mereka akan pemberantasan korupsi, juga hanya akan menjadi harapan saja.

Sudah saatnya, harapan akan hadirnya kegemilangan sejarah tentang kepemimpinan di masa lalu itu menjadi nyata. Pemimpin yang sangat tau diri untuk mematikan lampu kantor, saat hal yang dibicarakan bukan lagi urusan negara. Pemimpin yang terpilih oleh masyarakat yang sadar sepenuhnya dan karenanya pemimpin itu pun sepenuhnya sadar bahwa ketika memimpin, dia bukan bukan jadi raja. Tetapi dialah pelayan, sehingga rela memanggul sembako ke rumah rakyatnya. Harapan itu masih ada. Harapan itu makin kuat, selama kita mau bergerak.

Inilah saatnya, semua pihak mengambil peran. Organisasi-organisasi kemahasiswaan, saatnya rapatkan barisan, masyarakat kalian sudah sadar anti money politic, saatnya tularkan kesadaran itu pada masyarakat sekitar. LSM saatnya turun gunung ke masyarakat akar rumput melakukan pendidikan politik, apapun bentuknya. Pemerintah, lewat KPU sudah saatnya melakukan kampanye anti money politic. Lewat Kementerian Pendidikan, ini harusnya menjadi pengingat bahwa sudah saat memberikan pendidikan politik yang baik bagi penerus bangsa.

Jujur, saat menulis ini, saya merasakan ada orang-orang yang merasa terancam. Orang-orang yang selama ini punya kultur money politic untuk memenangkan hati masyarakat. Mereka cemas, mereka merasa terancam. Tapi ini justru membuat saya bersemangat mengajak kawan-kawan semua, mari kita bergerak! Bergerak di tempat masing-masing. Think globally, kita bicara politik Indonesia dan dunia yang lebih baik. Act locally, kita bergerak di daerah kita masing-masing sampai batas terluas yang bisa kita jangkau. Saya berharap akan segera ada gerakan masyarakat, baik itu dari pemerintah, LSM, atau organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda, semacam gerakan Amuntai Cerdas 2014, Kalsel Cerdas 2014, atau Indonesia Cerdas 2014, yang memiliki misi mencerdaskan politik rakyat Indonesia. Demi pemimpin masa depan Indonesia yang lebih baik, demi Indonesia yang lebih cerdas.

——-
Ah, itu soal moralitas, jangan bicara soal moralitas lah…” | Saya katakan, “Itu masalah kita sekarang, mas/mba, Pak/Bu