CURHATAN

Menjalani Takdir

sumber

Selama motoran bintaro – kantor pusat Kemenkeu saya perhatikan, ada yang aneh menurut saya. Orang-orang seperti saya yang kerjanya -sebut saja- di ujung kanan, tinggal di ujung kiri. Banyak pula sebaliknya, tempat kerja di ujung kiri, tinggal di ujung kanan. Ini yg menciptakan lalu lintas, bahkan kemacetan.

Kemaren sore di bandara banjarmasin, saya ngobrol dengan seorang konsultan tambang. Udah kerja dari 2008. Lagi tugas ke kalimantan seminggu. Gaji lumayan. Setelah tau saya CPNS, dia bilang dia ikut tes CPNS tahun kemaren itu. Loh? Saya heran. Masih minat jd PNS mas? Iya, katanya, lebih stabil. Daaaan, hari ini ada teman yang numpang saya motoran ke kanpus Kemenkeu, padahal kantornya di KPP. Ngapain? Mau resign katanya.

Dua kejadian di atas membuat saya berpikir sejenak. Semua ini adalah hasil dari pilihan, kepentingan, keinginan, dan hal lainnya yang membuat ini terlihat rumit, lalu menghasilkan keputusan; saya tinggal di sini meski kerja di sana, atau saya mau jadi/resign dari profesi PNS. Banyak lagi keputusan2 lainnya di luar sana. Tidak ada yang aneh seharusnya. Sejatinya mereka ‘hanya’ sedang menjalani takdir.

Tulisan di atas sebenarnya status facebook saya beberapa hari yang lalu. Ada salah satu komentar unik yang ingin saya bagikan di sini:

Saya juga sering ketemu yang seperti ini. Lebih banyak ibu-ibu. Yang stay at home mom pengen bekerja. Yang bekerja, pengen di rumah aja. Yang paling bingung itu kalau punya kalau punya temen mbak-mbak, yang rambutnya lurus dikeritingin, yang keriting dilurusin.

Begitulah. Dan sejatinya kita tak perlu bingung, karena mungkin kita juga seperti itu di beberapa bagian. Kita hanya sedang sama-sama menjalani takdir.

 

CURHATAN

Cerita Membaca


Sejak kapan kita membaca? Eh, maksud saya lebih rajin membaca? Eh, relatif ya? 🙂

Iya, memang sangat relatif untuk mengingat kembali dan menentukan kapan kita mulai (lebih rajin) membaca. Membaca di luar buku-buku wajib di sekolah atau di kampus. Karena relatif, semua ini akan sangat berkaitan dengan ‘merasa’.

Saya sendiri merasa mulai (lebih rajin) membaca itu usia SD. Entah kelas berapa. Yang pasti waktu itu rajin-rajinnya baca buku cerita. Yang paling saya ingat dua buku, lupa judulnya. Satu tentang perjuangan tentara di jaman belanda. Satunya, tentang kisah Nabi dan Rasul. Buku yang kedua ini yang paling berkesan, soalnya pas udah gede dan mulai konsen baca dan belajar Quran, ketemu lagi sama semua kisah yang ada di buku itu. Ooooh, ada di Quran toh!

Tapi, namanya juga anak SD, di kota kecil lagi. Kehabisan bahan bacaan yang disukai. Ya, yang disukai abis, gak mau baca lagi. Bocah.

Seingat saya habis itu sampai lulus MTs, saya tidak lagi membaca buku di luar pelajaran sekolah. Kalau pun ada, saya lupa. Suram sekali ya.

Baru saat SMA mulai lagi. Saya melihat kenapa saya mulai membaca lagi ini karena dua sebab. Pertama, karena memang mulai butuh. Anak usia SMA, mulai mencari. Kedua, karena waktu luang yang bertambah. Saat MTs, pelajaran di sekolah double. Materi SMP plus keislaman. Belajar buku agama yang pake bahasa Indonesia saja sudah menyita waktu lebih dibanding kawan-kawan di SMP. Ini buku yang digunakan buku berbahasa arab. Akhirnya, belajar bahasa arab mulai dasar (karena dari SD) menyita waktu tersendiri. Alasan kedua ini sepertinya yang menurut saya paling berpengaruh dalam memulai lagi membaca. Waktu kosong, ngapain lagi? Waktu itu saya introvertnya masih kuat banget. Hha.

Buku pertama yang dibeli waktu SMA?
Kurang terkenal bukunya, Berpikir Positif untuk Remaja. Ada yang tahu buku itu? Saya sendiri lupa penulisnya. Yang jelas beliau seorang pendeta. Ini buku reliji menurut saya. Hha. Dalil berpikir positifnya dari alkitab semua! Tapi tetep ludes dibaca. Kawan-kawan juga gantian pinjem dan baca. Bersyukur sekali waktu itu lulus dari MTs, sedikit banyak tahu bahwa, dalil-dalil seperti itu di Quran juga ada.

Setelah itu keranjingan membaca. Konsekuensinya adalah jadi agak sering beli buku. Minta uang sama orang tua. Beli buku.

Kondisinya, keuangan keluarga kurang mendukung. Ayah kandung saya sudah meninggal sejak saya kelas 5 SD. Pegawai Dinas Kesehatan dulunya, ada uang pensiunan tiap bulan. Ibu, guru SD. Dulu belum ada TPG alias ‘sertifikasi’. Ayah tiri, pensiunan guru SD. Adek dua. Hha. Jadilah setiap saya minta uang beli buku saat itu, ibu agak berat ngasihnya. Apalagi kalau saya mintanya gak tahu waktu, tiba-tiba saya beli buku. Ibu suka bilang, “kalau lapar, kamu makan buku aja ya.”

Aduh.

Tapi saya tetep suka beli buku. Beli ya. Hhe. 

Ibu akhirnya menyerah dengan kekeraskepalaan anaknya ini. Sampai pada suatu akhir masa perkuliahan, ada waktu kosong antara ujian terakhir dan magang/PKL, sekitar 2 minggu. Waktu itu tiba-tiba saya suka baca novel. Sebelumnya, cuma satu novel yang saya mau baca, Ayat-Ayat Cinta. Hha. Waktu masih jadi anak SMA -.-

Nah, waktu itu lagi kambuh-kambuhnya tuh baca novel. Dua minggu, sekitar 14 novel saya selesaikan. Dan sebagian besarnya beli. Ibu di rumah bingung, tiba-tiba realisasi anggaran uang saku naik. Hha. Ampuni anakmu, Bu. Tapi ibu akhirnya tahu pas saya pulang kampung setelah selesai kuliah 3 tahun. Saya harus bayar ekstra bagasi pesawat sampai 250ribu. Gak mahal sih per kilonya, 10ribu kalo gak salah. 

—-

Alhamdulillah…
Dapet istri yang suka baca juga.

Alhamdulillah
Menemukan usaha yang paling sesuai passion juga; jualan buku!
Setelah sebelumnya nyoba jualan macem-macem; kaos, flashdisk, kurma, bahkan pernah mau jualan kambing dan sapi kurban. hha.