Ketulusan dan semacamnya, masih adakah?
Entah bisa disebut perenungan atau bukan, suatu saat saya diam dan memasrahkan otak saya berpikir apa saja. Ternyata yang terlintas adalah tentang apa yang saya baca di sebuah buku ekonomi yang kira-kira begini isinya:
“Kita bisa membeli makanan, bukan karena kebaikan si penjual. Tapi karena si penjual menginginkan uang kita. Begitupula jika kita jadi penjual. Kita dapat uang bukan karena kebaikan si pembeli, tapi karena pembeli ingin barang yang kita jual.”
Dari situ lintasan-lintasan selanjutnya muncul.
Mungkin selama ini kita berbuat baik bukan berniat untuk memberi manfaat kepada sesama. Tapi justru demi kemanfaatan bagi diri kita sendiri: orang itu akan baik juga pada kita. Atau, agar kita dikenal sebagai orang baik?
Yang lebih sederhana, mungkin kita membersihkan rumah, lingkungan sekitar kita, bumi kita, bukan untuk membuatnya bersih –dan ini tugas kita sebenarnya. Tapi tujuan kita demi kebaikan kita sendiri: kita sehat, terlihat bersih, orang kagum pada kita.
Mungkinkah juga para pemangku jabatan, presiden misalnya, tak lagi ingin jadi presiden sebagai pengabdian pada bangsa. Tapi karena ingin pundi bulanan, dan pelaksanaan kerja presiden hanya sebagai pemenuhan kewajiban atas pundi-pundi itu.
Apa motivasi orang-orang jadi PNS? Apakah benar ingin jadi abdi negara? Atau demi amannya belanja bulanan dan tunjangan hari tua?
Benarkah motivasi para guru masih mendidik jiwa anak-anak? Atau hanya mengejar tanggungan jam mengajar demi sertifikasi?
Motivasi orang tua mengajari anak-anaknya sedari dini, masihkah untuk memberi asupan pada jiwa atau sekedar ingin berbangga; siapa dulu orang tuanya?
Lalu kembali pada apa yang tertulis di buku itu, sebagai pedagang, apakah kita ingin membawakan barang bagi yang membutuhkan atau sekedar ingin uang para pembeli?
Ah, sudahlah. Silakan list lanjutannya masing-masing.
Saya hanya termenung di ujung. Saya hanya yakin, orang-orang tulus itu masih benar-benar ada. Yang peduli itu masih ada. Yang punya cinta, insyaaLlah juga masih ada. Harapan itu masih ada.
Saya hanya termenung di ujung. Mungkin pikiran-pikiran seperti ini bukan menggambarkan di sekeliling kita. Lebih yakinnya, lintasan-lintasan ini sesungguhnya menggambarkan diri kita. Ah iya, bukan kita, hanya saya. Tepatnya.
Jika seseorang berpikir semua hal di sekitarnya rusak, sesungguhnya hanya dialah yang rusak.